SAAT PERNIKAHAN TAK MEMBERIKU PILIHAN



Di sebuah danau di pinggir pondok pesantren aku termenung antara bahagia dan resah. Mataku sembab tapi hatiku terasa begitu ringan terlepas dari sebuah beban yang setahun  terakhir ini membantai jiwaku. Ya setahun, tapi terasa bagai seabad. Kini semua belenggu itu lepas sudah. Sebuah kisah rumah tangga yang tak pernah aku dambakan. Sebut saja aku janda kembang yang kemarin telah bercerai dengan suamiku yang tak aku cintai. Bagaimana bisa aku tak mencintai suamiku dan bagaimana berjalannya rumah tangga kami? Baiklah akan ku ceritakan kronologisnya.
Aku adalah putri kedua dari pimpinan pondok pesantren yang ada di daerahku  aku memiliki satu adik laki-laki, 3 orang adik perempuan, dan satu kakak perempuan yang sudah menikah, ia dijodohkan oleh ayah dengan seorang putra dari pimpinan pondok pesantren di daerah lain. Meskipun kak Indah dan kakak ipar sebelumnya tak saling mengenal sama sekali, tapi perjodohan mereka langgeng dan mereka dikaruniai seorang putra yang sangat manis. Melihat kebahagiaan kak Indah, aku ingin segera menyusul untuk menikah. Tapi akupun harus menunggu kesiapan belahan jiwaku yang sedang berusaha untuk segera mengkhitbahku. Aku memiliki kisah yang begitu indah dengan kekasihku, kami sudah menjalin hubungan selama 3 tahun. Ketulusan dan cinta pertama kudapati darinya. Meski demikian kami jarang sekali bertemu, hanya saja kami berkomunikasi lewat handphone karena baik aku atau dia tengah berada di lingkungan pondok yang berbeda sehingga sulit untuk bertemu. Hari-hariku begitu berwarna bersamanya. Ia adalah orang yang selalu memberi kejutan yang tak pernah bisa aku tebak.
Ayah dan umi ingin agar aku segera dipinang mengingat usiaku yang sudah matang untuk berumah tangga, belum lagi adik-adiku yang usianya hanya berbeda dua dan tiga tahun. Ayah sangat  melarangku untuk berpacaran, ia ingin aku mengikuti jejak kak Indah yang sebelum menikah tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Ayah selalu mengajarkan prinsip Ta’aruf.  Namun tak ayal, aku sudah terikat oleh perasaan cinta yang tak ingin digagalkan. Aku hanya bisa bercerita kepada umi tentang hubunganku, beruntung umi membolehkan tapi ia memperingatiku untuk punya batasan-batasan karena keluarga kami adalah keluarga yang dihormati dengan basic pesantren. Aku berjanji tidak akan mengecewakan mereka dengan status berpacaranku karena aku hanya akan berkomunikasi seperlunya saja. Umi percaya padaku, dan aku merasa lebih tenang untuk diizinkan mencintai seseorang yang aku dambakan. Lalu usai menghafal al-Qur’an bersama dengan para santri dan pada waktu itu jam istirahat. Aku menghubungi Arif, seseorang yang amat spesial untuk menceritakan apa yang aku perbincangkan dengan ayah dan umiku. Dia sangat paham apa maksudku dan tidak keberatan karena itu untuk kebaikan kami berdua. Setiap kata-katanya selalu menenangkanku walau aku sempat khawatir dia tidak akan suka dengan apa yang aku putuskan. Sepenggal kalimat yang paling membuatku terkagum adalah
“Shafa ciptaan Allah yang indah, Shafa kah miliku nanti? Jangan bantah perintah orangtuamu yang mendidikmu dengan agama. Pun itu beresiko pada hubungan kita, jangan dibantah. Pada waktunya nanti dan atas seizin Allah, aku akan segera ke rumahmu bersama keluargaku. Cukup maksimalkan ibadah disana dan berdoalah untuk kita”
Iya Arif. Tentu, tentu aku akan menunggumu, berdoa untuk masa depan kita karena bersamamu adalah mimpiku. Aku tidak ingin kesendirian ini terlalu lama sehingga banyak kesempatan bagi Syetan untuk menghancurkan mimpi itu. Aku tidak mau.
Disisi lain para santri sering meledekku dengan pertanyaan-pertanyaan “kapan menikah?”, “kapan menyusul kak Indah?”, “sudah ada calonnya belum?”. Aku hanya menanggapi dengan senyuman saja. Bahkan santri-santri kepercayaan ayah ada juga yang senang menasehatiku untuk tidak berpacaran apalagi sebagian mereka tahu hubunganku dengan Arif mengingat sudah jelas hal itu dilarang dalam agama. Mungkin diantara keluargaku, hanya aku yang paling nekad. Bukan berarti aku membantah tapi untuk masalah jodoh, aku ingin hatiku sendiri yang memilih dan semuanya butuh proses untuk benar-benar mengenal calon kita itu. Entah mengapa aku sudah punya jawabannya sekarang. Bagiku tidak ada salahnya jika hanya sekedar status, sedang kami untuk bertemu saja tak ada kesempatan. Aku tidak tahu ini jalan yang benar atau salah, aku hanya bisa mencurahkannya disetiap tahajudku agar aku tidak salah dipertemukan dengan Arif.
~0~
Beberapa minggu kemudian, tepatnya setelah shalat subuh berjama’ah ketika aku mengaji dan bersholawat bersama para santri, ayah memanggilku. Lalu aku segera menghadapnya.
“ada apa ayah?”
“hari ini kita akan kedatangan tamu, kamu kan pinter masak, jadi masaklah yang enak ya. Biar adikmu Aida yang belanja sama kang Ridho”. Ridho adalah santri kepercayaan ayah yang sudah dianggap sebagai bagian keluargaku.
“iya ayah Shafa siap kalau untuk masalah masak, memangnya siapa tamunya Yah? Sepertinya begitu istimewa” aku sedikit penasaran karena kalau ayah memintaku untuk memasak berarti tamu yang akan datang adalah tamu yang spesial.
“ada sohib ayah waktu di pondok dulu, ia baru sempat untuk menemui ayah sekarang setelah lama ia pindah ke Jawa untuk memperdalam ilmu agamanya. Dia sudah jadi kiai besar disana dan punya banyak santri”
“oh begitu, pantas saja ayah seperti akan didatangi sang raja, ups” candaku.
“dasar kamu, sudah sana bantu umi di dapur”
“siap ayah” aku bergegas dan ayah hanya tersenyum geleng-geleng kepala lalu meminum kopi yang sudah hilang hangatnya sejak tadi.
Masakan sudah matang, aku tinggal menghidangkannya di meja. Saat menyiapkan makanan di dapur, tamu ayah sudah datang. Aku belum sempat menyambut mereka sedangkan ayah, umi dan keempat adikku sudah berada di ruang tamu. Aku malu untuk menyusul. Akhirnya aku memutuskan untuk bergabung bersama para santri di aula untuk membuat kerajinan tangan. Selang beberapa lama adik-adiku, Rahman, Aida dan Zahra menyusul ke aula, sedangkan si bungsu Laila tidak mau lepas dari pangkuan umi sepertinya.
“kok kesini, memangnya tamunya sudah pulang?” tanyaku.
“belum kak, kata ayah mau ngobrol orang tua aja. Jadi kita disuruh kesini” kata Rahman.
“tamunya siapa namanya?”
“pak Haji Gufran dari Jawa”
“oh, sama siapa aja kesininya”
“sama istrinya, dan tiga anaknya. Ikhwan dua dan akhwat satu. Kak Shafa dicari ayah tadi”
“kakak malas kalau belakangan nyambut tamunya hehe”
Kami bergurau sambil membuat kerajinan tangan semacam bros, bingkai, vas bunga, kaligrafi dan sebagainya yang nanti akan di jual. Dalam benakku ada rasa penasaran, tak biasanya ayah mengobrol begitu serius dengan tamunya sampai anak-anaknya pun tidak boleh ada disana. Tapi biarlah mungkin ada sesuatu yang begitu privasi diantara mereka.
Suatu pagi aku membantu umi di dapur dan sempat menanyakan kunjungan pak Haji Gufran. Kata umi, mereka hanya sekedar silaturahmi. Tiba-tiba umi menanyakan sesuatu padaku.
“kapan Arif akan kesini bersama keluarganya?”
“kok umi nanya itu” aku terheran.
“laah kan kalau kelamaan kamunya bakal di jodohin sama Ayah” aku merasa tersinggung, tapi umi kelihatan ragu dan  menyesal telah berbicara seperti itu kepadaku.
“umi, Shafa sudah bilang tidak mau di jodohin. Biarpun jodoh Shafa bukan Arif, Shafa akan menikah dengan laki-laki pilihan hati Shafa saja. Tolong mengerti umi”
“maafkan umi ya, tadi umi hanya iseng bicara begitu. Sudah jangan cemberut dan marah-marah lagi” umiku malah tertawa melihat reaksiku. Aku bingung dengan sikap umi yang kaku hari ini lalu mencairkan suasana lagi.
“yasudah kalau begitu Shafa mau cuci piring dulu mi”. Aku bergegas membawa tumpukan piring kotor untuk dicuci.
~0~
Suatu sore hatiku merasa sangat berbunga-bunga setelah membaca pesan-pesan dari Arif. Dia bilang tinggal menunggu sebulan lagi untuk mematangkan niat dan mencukupkan uang tabungan untuk datang mengkhitbahku. Rasanya aku ingin  mempersingkat waktu supaya bisa lebih cepat ke hari H. Sungguh pikiranku dipenuhi khayalan-khayalan hari pernikahan yang aku nanti-nantikan. Memakai gaun pengantin yang indah, lalu disandingkan dengan laki-laki pujaanku yang menjadi suamiku. Bagai kebahagiaan hanyalah milikku. Aku menghirup udara begitu lepas, sorot mataku tertuju ke ujung danau yang luas didekat pondok, dihiasi dengan warna langit senja yang memamerkan keindahannya. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aida ternyata, ia membuyarkan lamunanku yang indah.
“ciee senyum-senyum sendiri. Bahagia banget” Aida menggodaku.
“ada apa sih ganggu aja” kataku.
“waaah dari sorot matanya seperti yang sebentar lagi akan menikah. Eehemm”
Tebakan Aida tepat sekali pikirku. Dia memang pandai merayu kakaknya ini.
“Kok pinter nebaknya sih” kataku sambil tersipu malu.
“jadi kakak sudah tau soal pernikahan kakak?” aku merasa bingung dengan pertanyaan Aida yang satu itu. Kenapa sepertinya dia lebih tahu daripada aku. Apa Arif menceritakannya kepada Aida lebih dulu? Pikiranku bertanya-tanya.
“kamu tahu darimana soal Arif sebentar lagi akan meminang kakak?” tanyaku penuh penasaran. Sekarang justru Aida yang kelihatan bingung.
“aku tidak bicara soal kak Arif kak, aku bicara soal anaknya pak Haji Gufran yang akan dijodohkan sama kakak dalam waktu dekat ini”
Sontak hatiku serasa ditusuk mata pedang yang tajam. Aku tidak percaya dengan perkataan Aida. Aku yakin aku tidak mungkin dijodohkan.
“jangan bicara ngaco Aida, mana mungkin ayah menjodohkanku dengan putranya pak Gufran” emosiku mulai meningkat.
“jadi kakak belum tahu soal ini. Aku kira ayah dan umi sudah menceritakannya sama kakak, sebaiknya kak Shafa temui ayah sekarang. Ayah ingin bicara dengan kakak tadi,makanya aku kesini”.
Pikiranku kacau. Aku tidak mengerti mengapa tidak ada yang memberitahuku tentang masalah ini. Sulit dipercaya bagiku, aku takut dan gemetar apa yang akan dibicarakan oleh ayah kepadaku. Semoga apa yang diceritakan Aida tidak benar. Aku beranjak menemui ayah diruang tamu dengan wajah yang dipenuhi kekesalan. Aida langsung pergi, ia tidak nyaman mendengar perbincangan kami.
“duduklah nak” kata ayah. Aku duduk di kursi yang berhadapan dengan ayah sambil  masih diam membisu.
“kenapa terlihat murung begitu?”
“langsung saja ayah, apa yang sebenarnya ingin ayah bicarakan pada Shafa?”
“jadi begini” ayah memulai dengan hati-hati.
“putri ayah sudah dewasa sekarang dan sudah waktunya untuk menempuh hidup baru dengan menikah” belum selesai ayah bicara, aku memotongnya.
“ayah tenang saja, sebulan lagi Arif akan datang mengkhitbahku” tukasku dengan nada gemetar.
“bukan Arif, ayah sudah punya calon yang tepat untukmu. Hasbu, putra pertama haji Gufran”. Benar saja apa yang dikatakan Aida di danau. Ini berita paling menyedihkan yang pernah ku dengar.
“nak, Pernikahanmu akan dilangsungkan seminggu lagi, ayah dan pak haji Gufran sudah membicarakannya sejak kunjungan pertama mereka kemari” aku menatap ayah, tentu saja aku kaget mendengar pernikahannya akan dilangsungkan seminggu lagi. Mengapa ayah dan umi tidak memberitahuku sejak dulu. Kunjungan pak haji Gufran waktu itu ternyata merencanakan perjodohanku dengan putranya yang bernama Hasbu yang tidak aku kenal sama sekali. Lalu bagaimana dengan Arif? Apa yang bisa aku katakan padanya. Mengapa kebahagiaan yang kurasakan tadi begitu sesaat? Aku tak bisa lagi menahan air mata yang sejak tadi berkumpul di kedua kelopak mataku.
Umi hanya mengintip-intipku dikamarnya sambil menidurkan Laila. Ia mungkin tak tega membicarakan perjodohan ini padaku karena umi tahu betul pasti aku akan sangat kecewa.
“ayah, Shafa sudah bilang tidak mau dijodohkan. Shafa sudah punya pilihan hati sendiri dan dia akan kemari sebulan lagi, mengapa ayah tak mengerti” paparku dengan penuh tangis.
“ini demi kabaikanmu dan pesantren kita Shafa. Mulai sekarang lupakan saja Arif”
“begitu mudahnya ayah menyuruh Shafa melupakan Arif. Shafa tidak mau dijodohkan, tidak mau!!” aku merengek lagi memohon pada ayah.
“turuti apa kata ayah, ini perintah! Ayah yakin ini yang terbaik untukmu” ayah setengah membentakku. Aku paling tidak bisa berkata apa-apa jika ayah sudah membentakku, isak tangis di ruang tamu saat itu entah kapan akan terhenti.
“persiapkan saja dirimu, besok mereka akan kemari lagi untuk mematangkan semuanya” lalu ayah bergegas pergi berwudhu. Itu kebiasaannya ketika amarahnya mulai naik, ayah meredamnya dengan wudhu.
Sejak saat itu aku tak bisa berhenti menangis dan mengurung diri di kamar. Terlebih saat kembali membaca pesan-pesan yang dikirim Arif tadi sore, sungguh hatiku bagai disayat-sayat silet yang sakit dan perihnya sudah pasti terbayang. Ya Allah mengapa ini terjadi kepadaku. Aku mencintai Arif tapi mengapa kau memberiku seseorang yang tak kukenal sama sekali dan dengan cara yang begitu singkat.
“kak Shafa ayo sholat magrib berjama’ah” Aida memanggilku sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarku. Aku diam saja tak mau menjawab.
“kakak sedang apa sih di dalam. Ayo sholat” aku masih diam tak peduli.
“kak, kak Shafa?” terdengar berisik.
“kakak sholat dan ngaji disini saja” suaraku parau. Mungkin Aida mulai mengerti apa yang terjadi padaku dan segera pergi.
Usai sholat, dengan suara lirih aku mengadukan semua masalahku kepada sang Maha pemilik masalah.aku memohon dengan penuh harap agar pernikahan dengan Hasbu tak pernah berlangsung. Begitu dan begitu saja doaku setiap saat.
Keesokan harinya, pak haji Gufran dan putranya datang ke rumah. Mau tidak mau aku harus menemui mereka. Itu adalah kali pertama aku melihat pak Gufran dan Hasbu yang akan dijodohkan denganku itu. Wajahnya biasa saja, ia berperawakan kurus dan lebih pendek dariku. Kesan itu semakin membuatku down. Hasbu sudah tersenyum-senyum ketika melihatku, sementara aku hanya menundukan kepala dengan perasaan penuh penolakan.
~0~
Aku tak ingin keluar kamar sama sekali ataupun bergabung beraktivitas seperti biasa dengan para santri. Mereka menanya-nanyakan kabarku karena sudah tiga hari terakhir ini mereka tak melihatku. Entah apa tanggapan Aida, Zahra dan Rahman dengan pertanyaan-pertanyaan dari para santri. Biarlah, aku tak peduli siapapun, aku tak peduli pada diriku sendiri, tak bernafsu untuk makan sampai pipiku sudah mulai kelihatan tirus. Umi datang ke kamarku berusaha untuk membujukku makan, berusaha pula untuk menenangkanku. Tapi apapun cara umi tak akan menghapus rasa kecewaku selama ini.
“makanlah jangan menyiksa dirimu seperti ini” aku tetap diam.
“maafkan umi, umi tidak bermaksud menyembunyikan semuanya darimu, tapi umi tidak bisa menyangkal keputusan ayah”
“dulu, perjodohan kak Indah dilakukan secara terbuka dengan perancanaan dari jauh-jauh hari untuk meminta kesepakatan keduanya, mengapa Shafa tidak mendapat perlakuan yang sama mi, Shafa sama sekali tidak diberikan pilihan” air mataku mengalir deras lagi lalu aku membenamkan wajahku ke bantal, maka basahlah bantal itu.
“dengarkan umi putriku, ayah sangat menyayangimu. Ia begitu peduli pada masa depanmu. Ayah juga begitu anti terhadap hubungan berpacaran yang lazim dilakukan anak muda zaman sekarang. Oleh karenanya ayah ingin memberikan calon suami yang terbaik untukmu. Hasbu dirasa calon yang tepat buatmu, disamping keluarganya adalah kerabat dekat ayah dan memiliki pondok pesantren. Ayahmu berharap kamu bisa mendanpingi Hasbu untuk mengurusi pesantren pak haji Gufran. Bahkan perjodohan ini atas permintaan pak haji nak.”
“apa yang baik menurut ayah ataupun umi itu belum tentu bisa aku terima, belum tentu baik buatku mi, yang akan menjalani itu aku, bukan ayah. Bagaimana aku menuruti kemauan ayah dengan perasaan begitu terpaksa?”. Wajahku masih terbenam di bantal, tangan kananku memukul-mukul bantal lainnya tanda kejengkelanku. Umi mengusap-usap kepalaku sambil terisak. Aku tahu umi juga menangis.
“terserah apa menurut Shafa, tapi pernikahan tinggal menunggu hari. Umi mohon hargailah keputusan ayahmu” umi berlalu keluar.
Dunia bagai neraka. Tak satupun yang mampu memahami aku. Saat ini aku hanya membutuhkan Arif, hanya Arif. Aku mengirimkan pesan padanya untuk menanyakan kabarnya. Setidaknya aku merasa sedikit tenang saat tau dia baik-baik saja. ia sempat menanyakan alasan mengapa tiba-tiba aku menghubunginya dengan menanyakan kabar. Padahal baru beberapa hari yang lalu kami berkomunikasi. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi. Aku hanya ingin bilang kalau aku sedang rindu. Saat tombol send akan ku tekan tiba-tiba Hpku direbut oleh ayah. Ayah membaca pesan-pesan aku dan Arif. Saat itu juga ayah membanting hpku ke lantai. Praakkk!!!!.. hpku sebagai satu-satunya untuk terhubung dengan Arif kini hancur berkeping-keping. Aku menunduk dengan wajah memerah. Sedang ayah memaki-makiku agar aku melupakan Arif. Perasaanku saat itu sama seperti kepingan handphone itu, luluh lantak.
~0~
Tak ku sangka hari akan begitu cepat menuju pernikahan seolah langit dan bumi begitu ridho akan terselenggaranya sebuah pesta di rumahku. Lain halnya dengan diriku bak sebuah batu, di kolam ia tenggelam, di lempar ia terdampar, di tendang hanya bisa  jatuh. Pasrah, tak mampu melawan. Esok adalah akhir riwayatku, sebuah kegagalan mimpi indah yang berubah jadi mimpi buruk. Namun sebelum mimpi buruk itu benar-benar terjadi, aku akan mengirimkan kata-kata terakhirku pada Arif, si mimpi indahku. Aku menuliskan kata demi kata untuk menjelaskan apa yang selama ini terjadi hingga aku dan dia benar-benar harus berpisah. Kertas itu lusuh dengan tetesan air mataku yang tak ada habisnya. Aku tahu Arif, kau pasti akan kecewa. Kau boleh membenciku semaumu. Yang jelas semua ini bukan keinginanku. Semoga dia akan mengerti.
Aku memanggil Rahman dengan diam-diam untuk menyuruhnya mengantarkan surat ini kepada Arif di pondoknya. Kalau ayah tahu, pasti ayah akan merobek surat itu. Untungnya Rahman memahami kondisiku, ia segera berangkat mengantarkan suratku pada Arif.
~0~
Hari kehancuran sudah tiba. Para santri sibuk menyediakan prasmanan, dekorasi, sound system, dan segala sesuatunya. Semuana berdandan dengan sangat rapi. Semakin aku melihat semuanya siap, semakin membuatku kacau. Ya Allah betapa berat harus ku terima kenyataan ini.
Di kamar, Aku sudah di dandani namun make up ku luntur dan luntur lagi karena air mata yang terus menerus mengalir. Tatapanku kosong saat diluar sana akad nikah sudah di langsungkan. Semuanya mengatakan sah. Aku tak bisa berdaya apa-apa lagi, umi menciumiku yang lemah. Aku di tuntun umi ke pelaminan untuk disandingkan dengan Hasbu. Iya dia resmi menjadi suamiku sekarang. Saat aku keluar menuju singgasana pelaminan, semua orang terheran-heran melihat raut wajahku yang tak ceria. Mataku sembab dan terisak-isak. Sementara hasbu terlihat bahagia menyambutku, namun seketika ia nampak bingung dengan sikapku yang tak meresponnya. Tidakkah dia tahu bahwa aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini terjadi? Aku tidak mencintai Hasbu, aku tidak ingin menikah dengannya, mengapa ia tak bisa membaca ekspresiku. Aku hanya bisa menjerit-jerit dalam hati.
Tamu undangan berdatangan membawa parsel dan kado-kado terbaiknya, aku tak peduli, teman-temanku, kerabat dan semua orang mengucapkan selamat padaku. Justru itu membuatku semakin sakit. Fotografer menyuruhku bergandengan tangan dengan Hasbu untuk diambil gambarnya. Aku menolak..
“gandenglah tanganku, kita sudah halal sekarang” Hasbu berkata padaku. Aku malah semakin ingin menangis. Lalu Zahra meraih tanganku dan mengkailkannya ke lengan Hasbu. Ekspresi wajahku penuh dengan keterpaksaan. Jika dia Arif, tanpa fotografer suruhpun aku sudah gandeng tangannya.
Lagi, sepanjang hari para tamu berdatangan, bersalaman, mengucapkan selamat, begitu dan begitu. Saat para tamu mulai sepi, aku melihat seseorang mengenakan kemeja biru  sedang mengisi buku tamu di pager ayu, ia nampak tak asing bagiku. Lalu ia mendekat, semakin dekat semakin wajahnya terlihat jelas, hatiku berdebar dengan keras. Tak salah lagi, dia adalah Arif. Aku menundukkan kepala ketika dia hendak bersalaman denganku, Hasbu sekarang tahu bahwa Arif adalah kekasihku yang sangat aku cintai.
“Shafa..” suara Arif dengan lembut meyebut namaku. Lalu aku mengangkat wajahku yang sudah banjir dengan air mata.
“mungkin jodohmu adalah dia, belajarlah untuk mencintai suamimu” suaranya setengah berbisik sambil tersenyum. Aku menggeleng-gelengkan kepala dan tak bisa berkata apa-apa.
“ehmm..” Hasbu sepertinya memberi sebuah kode.
“oh iya Shafa, selamat menempuh hidup baru, semoga jadi keluarga sakinah mawadah warahmah” kata Arif sambil menyerahkan sebuah kado untukku. Ia segera beranjak pergi tanpa mencicipi makanan di meja prasmanan. Rasanya aku ingin memanggil dia atau mengejarnya dan tak membiarkannya pergi dari sisiku. Tapi sugguh aku tak punya daya. Hanya bisa menangis, menangis dan menangis.
Resepsi sudah usai, kado-kado, parsel dan amplop semuanya sudah di masukkan ke kamarku oleh para santri. Kamarku sudah di rias sedemikian rupa oleh adik-adiku dan santri lainnya. Itu adalah malam pertama pernikahanku, aku tidak peduli dengan semua riasan-riasan dan hadiah-hadiah pemberian tamu undangan. Aku pergi ke kamar dan berganti baju, menghapus make up lalu mengambil alat sholat. Lalu Hasbu menyusul ke kamar. Aku langsung mengenakan kerudung.
“kenapa harus pakai kerudung di hadapan suami sendiri mi?” telingaku panas ketika dia menyebutku dengan panggilan umi. Tidak, aku tidak menyukai itu.
“maaf kang, saya mau sholat di majelis dan berkumpul dengan para santri” aku nyelonong keluar tapi Hasbu meraih tanganku.
“jangan lama-lama mi. Ini kan malam pertama kita”. Rayunya. Mana mungkin aku mau melewati malam pertama bersamanya sekalipun dia adalah suamiku.
“maaf kang, malam ini saya akan tidur bersama adik-adik saya” lalu aku pergi. Hasbu menendang kado-kado yang tersusun rapi hingga jatuh berantakan. Untungnya tidak ada yang tahu tentang kejadian ini.
~0~
Hari demi hari, bulan ke bulan kian terlewati, Hasbu mengajakku untuk tinggal di Jawa bersama keluarganya. Namun aku menolak dengan alasan belum siap, meski sebenarnya aku tidak akan pernah siap membina rumah tangga dengannya terlebih perlakuannya kian hari terlihat  kasar kepadaku. Dia juga pemalas, setiap hari kerjaannya hanya tidur.  Aku tidak pernah ingin tidur bersama Hasbu atau disentuh olehnya. Aku sering mendapat bentakan darinya dan terutama dari ayah. Setiap kali aku tidur di majelis atau mushola, ayah pasti memarahiku dengan kata-kata yang sama, “jadi istri harus bakti sama suaminya, tidak tahu malu, atau jangan jadi istri durhaka”. Aku tahu apa yang selalu dikatakan ayah tapi aku tetap tidak peduli, hatiku berontak setiap kali ada nasihat seperti itu bahkan batinku juga.
Badanku semakin terlihat kurus, sejak perjodohan itu aku tidak pernah punya nafsu makan, lebih baik aku puasa saja. suatu ketika aku teringat pada Arif, sudah lama sekali rasanya aku tak berkomusikasi dengan dia setelah terakhir bertemu di resepsi pernikahanku. Aku merindukannya. Tiba-tiba aku ingat dengan kado pemberian darinya. Ya ampun aku sampai melupakan kadonya karena rasa frustasiku setiap hari. Entah dimana kado itu dan apa isinya aku belum tahu. Aku menemui adik-adiku untuk menanyakannya karena waktu itu mereka yang merapikan kado-kadonya. Aku merasa senang, ternyata kado dari Arif disimpan dengan aman oleh Aida. Ia sengaja tak memberitahuku karena takut menyinggung perasaan Hasbu jika ia tahu kado itu dari Arif. Aku membawa kado itu ke sebuah ruangan kecil di Majelis tempat aku shalat, mengaji dan tidur saat sendiri. Lalu segera kubuka kado itu dengan rasa penasaran apa isinya. Ternyata itu adalah lukisan wajahku, mirip sekali. di bawahnya ada kalighrafi bertuliskan namaku, sangat indah. Aku yakin Arif begitu berusaha keras untuk membuat lukisan ini dan tentu dalam waktu yang sangat singkat untuk segera diberikan kepadaku di hari pernikahanku. Kesedihan itu hadir lagi jika teringat dengan peristiwa-peristiwa yang aku alami selama ini. Ku tatap lukisan itu dengan haru menyelimuti segenap relung batinku.
“Perasaanku tetap sama padamu Arif, butuh waktu seumur hidupku untuk bisa melupakanmu dan kenangan kita”. Bisikku sambil memeluk lukisan itu. Sontak tiba-tiba saja ada seseorang yang membuyarkan lamunanku. Hasbu. Dia mengambil lukisan pemberian Arif dan memecahkan bingkainya, lalu dia membakar lukisan itu di hadapanku. Tentu saja aku marah bukan main.
“kenapa kau bakar lukisan itu kenapa?” kataku.
“karena ini adalah masa lalumu kan? dengan benda ini kau akan menganggapnya masih ada. Dan aku tidak suka” jawabnya. Tentu aku semakin sedih mendengar itu.
“kau tak pernah menghargai perasaanku yang telah kehilangan seseorang, tapi kau malah memperburuk keadaan yang ku alami dengan sikapmu yang selalu kasar padaku, kau tahu betapa berharganya benda itu buatku” aku mulai berdebat dengannya.
“aku tidak peduli seberapa berharganya. Akan ku belikan lukisan yang manapun. Hartaku berlimpah, kau tinggal minta saja yang semahal apapun  asal jangan pernah menyimpan lukisan yang satu ini” tukasnya. Amarahku  tak tebendung lagi. Aku tak pernah menginginkan hartanya sekalipun mampu membelikan segalanya. Ayah datang karena mendengar pertengkaran kami. Hasbu mengadu pada ayahku seperti anak kecil saja. habislah aku di marahi ayah. Aku berlari menemui umi. Tentu saja umi kaget melihat aku datang padanya sambil menangis. Aku menceritakan semuanya pada umi, ia memelukku dan menasehati sambil mengusap-usap punggungku yang kurus. Umi paham akan penderitaan yang menyiksa batinku, ia tahu kalau aku begitu tertekan dengan kehidupan rumah tangga yang aku jalani. Seharusnya bahagia, namun malah jadi petaka. Bukan sekali duakali aku bertengkar dengan Hasbu, bukan pula hanya karena memperdebatkan masalalu. Hal sepele saja ia langsung membentakku. Bagaimana cinta di dadaku bisa tumbuh untuknya?. Pernah suatu hari dia menyuruhku membuatkan kopi, lalu aku lupa menambahkan gula karena terburu-buru mendengar Laila jatuh di halaman rumah. Ketika ia meminumnya, kopi itu langsung di taburkannya di atas meja sampai banjir ke lantai. Astagfirullaahal ‘adziim. Lebih lagi Sikapnya semakin tak sopan kepada orangtuaku, saat ceramah kepada santri sering memamerkan harta kekayaan hingga banyak santri yang tak menyukainya. Padahal harta-harta itu hanya milik orangtuanya, pekerjaannya setiap hari selalu bermalas-malasan, lalu bagaimana mungkin ia bisa begitu banyak memperoleh penghasilan. Heran saja. akupun tak kuat melihat sikapnya, sudah saja dari awal aku memang tak suka.
~0~
Tak ada hentinya keresahan dalam diriku, entah ini hukuman atas dosaku yang mana. Siang dan malam aku berserah diri kepada Allah agar diberikan jalan terbaik. Aku berusaha menerima apa yang sudah ditakdirkan Allah padaku. Mungkin aku harus memperbaiki semuanya, menuruti apa kata ayah, melakukan apa yang disarankan umi dan belajar mencintai Hasbu walaupun tak mudah bagiku untuk menggantikan posisi Arif di hatiku. Karena mau dibagaimanakan lagi, aku sudah menjadi istrinya, rumah tangga kami sudah hampir satu tahun dan banyak sekali peraturan menjadi seorang istri yang aku langgar.
Suatu ketika aku melihat umi sibuk membuat kue. Kue-kue itu untuk dibawa kondangan ke kerabat dekat umi yang mengadakan resepsi pernikahan esok hari.
“kamu ngga bikin kue juga buat kondangan ke kerabat umi besok?” tanya umi.
“kan Shafa ngga dapet undangannya mi. Shafa bantuin umi aja”
“memangnya suamimu tidak memberikan undangannya padamu, kan mereka mengundangmu juga. Sudah umi berikan ke Hasbu”
“yang bener mi, ko kang Hasbu tidak memberitahu Shafa?”
“coba tanyakan dulu. Mungkin dia lupa. Berangkatlah besok berdua. Perbaiki hubungan kalian”
“insya Allah umi. Boleh Shafa lihat undangannya mi?” aku ingin tahu siapa nama sohibul hajatnya.
“tuh ambil aja di atas lemari dekat tv”. Aku mengambil surat undangan berwarna merah ati itu dan membacanya. Ternyata yang menikah adalah sepupu Arif yang rumahnya pun berdekatan dengan rumah Arif. Aku tahu pasti Arif juga akan ada di acara resepsi itu. Aku bingung akan hadir memenuhi undangan itu atau tidak. Akhirnya aku menuruti saran umi untuk kondangan bersama suamiku pun akan beresiko aku bertemu dengan Arif. Usai membantu umi membuat kue, akupun membuat puding-puding yang akan kubawa besok. Hasbu pergi ke dapur mengambil minum, ia mendapatiku sibuk menyajikan puding. Ia lalu bertanya.
“itu buat apa bikin puding banyak banget?”
“buat kondangan besok ke kerabat ayah dan umi” jawabku. Hasbu menaruh gelas dengan keras.
“jangan dilanjutkan” katanya.
“kenapa kang?” aku melihat sorot matanya penuh amarah.
“kamu bukan niat kondangan, tapi niat ketemu si Arif kan? aku tahu Arif akan ada disana” kenapa dia begitu suudzan padaku dengan berkata seperti itu.
“kang, aku hanya ingin membuat ini untuk pergi kondangan bersamamu”
“bohong!! Kondangan yang sepertinya begitu spesial. Mana mungkin tidak ada apa-apanya” nada suaranya semakin naik dan ia meraih puding-puding yang sudah jadi, lalu meremas-remasnya sampai hancur semuanya. Tak ada yang tersisa sama sekali. Aku tak bisa menahan tangis sambil memunguti puding-puding itu dilantai.
Umi yang di dalam kamar sempat mendengar pertengkaran kami akhirnya ke dapur untuk melihat apa yang terjadi. Umi sangat kecewa dengan sikap Hasbu lalu menegurnya. Saat itu juga ayah dan Rahman datang ke dapur. Melihat semuanya berantakan di dapur, ayah bertanya pada umi dan jelaslah permasalahan saat itu. Hasbu malah jadi semakin murka melihat pembelaan ayah dan umi terhadapku. Detik itu juga dia mengucapkan talak tiga sekaligus padaku.
“bela saja terus istri semacam dia. Biar ku talak tiga sekaligus putri kalian” suaranya lantang dan ia beranjak pergi. Aku semakin tak karuan menahan rasa sakit dan kepedihan. Tak ku sangka bila aku akan mengalami sebuah perceraian. Apalagi disaat aku akan mempertahankan pernikahan dan memperbaiki rumahtangga juga keluargaku. Semua berakhir sudah, semua tak berlangsung seperti apa yang aku usahakan. Sebegitu pilunya hal yang aku alami. Ampuni aku ya Allah, ampuni aku ya Allaah..
~0~
Ya, begitulah pengalaman pahit yang menimpaku. Sekarang aku harus memulainya dari awal. Sedikit demi sedikit, kepergiannya membuatku malah jauh lebih tenang. Para santri selalu berusaha menghiburku untuk bisa tertawa seperti dulu lagi, ayah terlihat semakin perhatian kepadaku. Mungkin ada rasa bersalah dalam hatinya karena perjodohan yang telah ditentukannya dulu itu sehingga anaknya sampai tersiksa begini. Tak ada yang bisa ku sesali atau ayah sesali karena semua berjalan atas kehendak Allah. Kita hanya harus mengambil hikmah diantara peristiwa menyenangkan atau menyedihkan sekalipun. Segala kejadian itu membuat aku jadi semakin berserah kepada Allah. Aku yakin Allah tidak mungkin terus menerus memberikan kesedihan pada hambanya, ada jatah dimana kebahagiaan yang luar biasa juga akan kita alami. Semoga dan semoga.
~0~
Lima bulan telah berlalu, masa idahku sudah terlewati, aku menyibukan diri dengan berbagai kegiatan di pesantren bersama dengan para santri. Kini aku sudah mulai melupakan masa-masa kelam yang pernah mampir di hidupku. Tawa yang aku rindukan kembali menghiasi wajahku lagi, aku menikmati hidupku yang sekarang.
“kak Shafa ayo ikut kami” adik-adiku. Aida dan Zahra menariku keluar dari  kerumunan santri di majelis yang sedang tahfidz Qur’an, tepatnya malam hari.
“eh eehh ada apa narik-narik segala”
“pokoknya ikut kita ke ruang tamu”. Aku bingung dengan perlakuan kedua adikku ini. Lalu aku menuruti apa yang diinginkan mereka.
Sampai di ruang tamu aku melihat ayah dan umi. Sedang si kecil Laila asyik memainkan boneka baru yang berbunyi suara bayi.
“ada apa mi, Yah? Kedua bocah ini menyeret Shafa kemari dengan paksa”. Aida dan Zahra malah cekikikan tertawa.
“duduk aja dulu” kata ayah.
“yowis nih duduk” aku duduk di samping Laila sambil menggelitiki perutnya. Ia terbahak-bahak menahan geli.
“kita akan kedatangan tamu, sebelum tamunya datang, kamu harus sudah ada disini.” Kata ayah. Aku heran, memangnya siapa tamunya sehingga aku harus ada disini sebelum ia datang.
“siapa yang akan datang ayah?” tanyaku penasaran. Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil di halaman rumah.
“tuh tamunya sudah sampai” sela umi. Pikiranku masih penuh dengan tanda tanya.
“Assalamu’alaikum” terdengar suara bapak-bapak mengucapkan salam di luar sana disusul dua tiga orang lainnya.
“wa’alaikum salam” kami menjawab. Ketika aku lihat ternyata yang datang  adalah gurunya Arif di pondoknya. Aku semakin heran ini ada apa.
“ayo silakan masuk” ayah mempersilakan. Aku lihat orang di belakang Gurunya Arif ada ayah dan ibunya, tubuhku bergetar, dan aku lebih dikejutkan lagi ketika melihat sosok yang tinggi dengan wajah yang bersih menyusul di belakang sana. Dia Arif. Aku tak menyangka setelah sekian lama tak berkomunikasi dan bertemu, pada malam ini ia dan keluarganya datang ke rumahku, tepatnya melamarku. Ya Allah mimpi apa aku semalam.
Dua keluarga memperbincangkan pernikahan aku dan Arif, menentukan tanggal, surat  undangan dan sebagainya. Aku masih tak percaya. Aku takut ini hanya khayalanku atau jangan-jangan aku memang sedang mimpi. Aku mencubit tanganku, tidak, aku tidak sedang tidur. Ini berarti nyata. Arif melirikku, ia menyimpulkan senyum yang sudah lama tak kulihat. Aku diam dengan seribu kebahagiaan meluap-luap di dada. Percaya dan tak percaya Ia masih mencintaiku seperti dulu, ia mau menerimaku walaupun aku sudah menyandang status janda meski aku tak pernah di sentuh mantan suamiku sebelumnya. Akhirnya hari yang dinantikanpun tiba. Haru dan syahduku tumpah pada pernikahan keduaku itu. Aku bersyukur atas segala hadiah yang Allah berikan ini. Pernikahan bukan dengan tangis luka lagi tapi tangis bahagia. Jangankan aku, Suamiku Arif penuh linangan air mata setelah sah mengucapkan ijab kabul, Ayah dan umi pun terisak isak melihatku akhirnya berjodoh dengan cinta sejatiku.
SELESAI

Komentar