Balada Cinta tanpa Pacaran dan Ta’aruf



Udara masih terasa sejuk dibuai semilir angin berhembus lepas. Ayam-ayam ternak sudah berkeliaran jauh mencari makanan untuk memenuhi keinginan perutnya. Dihadapanku terhidang makanan ringan semacam snack dan kue-kue kering. Aku tak sendiri, ditemani 4 temanku yang sedari tadi tak ada hentinya berbincang, tertawa, dan makan-makan. Sudah hampir tiga tahun kami tak begini, kali inilah kami bisa melepas rindu karena setelah lulus sekolah dan menempuh kehidupan masing-masing kami selalu tak punya hari libur yang bersamaan. Jarak, waktu dan kesibukan kami untuk bisa kompak seperti dulu terjeda cukup lama. Tentu banyak perubahan dari meraka ini. Ada yang kuliah, bekerja dan ada juga yang sudah menjadi ibu rumah tangga, tapi syukurnya karakter mereka sedari dulu tak berbeda. semua kisah semasa SMA selalu menjadi hal seru saat bertemu. Cerita lama yang konyol tak asik jika tak ditertawakan. Itulah saat-saat yang selalu ingin kami ulang kembali, sekolah, persahabatan dan cinta. Tapi usia kami sudah menua ternyata. Benar apa kata pepatah, kita tak akan pernah bisa kembali ke masa lalu, karena hidup hanya menyediakan satu kesempatan saja.
Perbincangan kami berujung pada poin yang sensitif bagiku. Ialah masalah jodoh, tatapan jahil mereka langsung mengarah padaku. Bisa dibilang, diantara mereka dari dulu sampai sekarang hanya aku yang masih menyandang status single. Temanku Eka sudah menikah hampir setahun yang lalu. Novi masih dibilang pengantin baru, Loly dan Deby sebentar lagi akan menyusul. Sedangkan aku, teman dekat saja tak ada. Aku seperti bocah ang digurui oleh 4 guru pakar jodoh. Itulah hobi mereka yang tak bosan menyelotehi aku kalau membahas masalah yang satu ini karena aku yang terus menerus sendiri. Lucu memang, bukan karena aku ak normal ya.. aku selalu tak sepakat dengan mereka mengenai istilah pacaran. Bukan tak tertarik pula sebenarnya, tapi untuk meminjam pasangan orang lain yang tidak diperuntukan bagi kita selamanya, hanya menghambur-hamburkan perasaan saja. walaupun mengenai pasangan hidup aku memang kalah saing dengan teman-temanku yang bergantian menuju pelaminan. Predikat jomblo masih melekat dan bertahan cukup ku nikmati. Tapi belakangan ini menjelang penghujung kuliahku, aku memang ingin dekat dengan seseorang yang memahami prinsipku dan juga akan menjadi pendamping hidupku. Meninggalkan pacaran dan menyegerakan pernikahan. Kembali lagi, semua itu hanya Allah yang berhak mengatur. Jadi serahkan saja pada-Nya.
Sedang habis-habisnya aku dibully dengan segala ledekan mereka tiba-tiba ada dua orang tamu yang datang. Sepertinya mereka ayah dan anak.aku sendiri tak mengenal mereka namun rasanya tak asing lagi melihat wajah keduanya itu.
“Assalamu’alaikum?’ pemuda dan ayahnya itu mengucapkan salam.
“Waalaikum salam” jawabku. Ibuku langsung menyambut mereka dengan gembira dan mempersilakan keduanya masuk. Sedang teman-temanku entah bagaimana tadinya sudah beranjak dari rumahku begitu saja. aku sedikit terheran. Lalu aku pergi ke dapur mengambilkan minum untuk kedua tamu yang tak kukenal itu.
“Sandra sini duduk nak” ibuku memintaku duduk disampingna. Hari itu ayah tak ada di rumah. Aku juga tak tahu adik-adiku kemana perginya. Lalu ayah pemuda itu berbincang dengan ibuku, sedangkan anaknya menyimak pembicaraan orangtua kami. Ada hal yang begitu mengejutkan bagiku saat aku tahu bahwa yang sedang diperbincangkan adalah pernikahan aku dengan pemuda yang bertamu dengan ayahnya. Haris namanya.  Ibuku kelihatan sangat senang. Ia memintaku untuk menerima lamaran Haris. Astagaa.. jadi begini rasanya dilamar. Aku masih bingung kenapa Haris datang kemari? Aku sama sekali tak mengenalnya, memangnya sudah sejauh  mana dia tahu tentang diriku?
“Sandra, jadi bagaimana? bersediakah menerima lamaranku?” Pertanyaan dengan  penuh keberanian dan tanpa basa-basi, Haris menawariku  menikah sambil menyerahkan cincin emas ang entah berapa gram beratnya. Akhirnya aku mencoba memberikan jawaban.
“mohon maaf sebelumnya sama ayah Haris dan Haris, Sandra mau saja menerima lamaran ini kalau memang Haris sudah siap menerima kekurangan saya lahir batin, karena saya tidak mau ada penyesalan Haris setelah pernikahan. Saya juga ingin hidup saya didampingi oleh seseorang yang benar-benar tulus menyayangi saya”
Ucapanku tak terkontrol, kenapa lidahku seolah memberikan peluang bagi Haris untuk menjadi suamiku sedangkan seluk beluknya saja aku tak tahu. Anehnya dengan mudah perasaan suka itu muncul pada Haris. Kalau dilihat-lihat dia nampak manis dan sepertinya karakternya penyayang.
“saya sudah tahu apa dan bagaimana kekurangan dan kelebihan Sandra. Jadi saya harap sandra juga sudah siap” kata Haris mantap.
Tanpa pikir panjang, aku dan ibuku mengiyakan lamarannya. Sebelumnya ada beberapa pertanyaan didalam benakku. Pertama, kenapa aku seperti sudah mengenal Haris sebelumnya? Tapi kapan dan dimananya akupun tak tahu. Kedua, kenapa ibuku nampaknya lebih mengenal keluarga Haris sedangkan aku sangat yakin ibu tak punya kenalan seperti ayah Haris. Ketiga, kenapa aku merasa cocok dan mantap pada Haris dengan singkat dan tanpa ta’aruf sekalipun berani menerima lamarannya? Ini janggal sekali sebenarnya bagiku. Atau apa aku mengalami amnesia seperti di sinetron atau FTV? Apa ibuku dan ayah Haris sudah lama merencanakan ini sebelumnya? Ah mana mungkin.
Keesokan harinya Haris mengajakku fitting gaun pengantin, tak sulit bagiku untuk menemukan gaun yang cocok untukku karena aku bukan orang yang neko-neko. Sepanjang perbincangan, Haris selalu berusaha meyakinkan aku kalau dia akan bersungguh-sungguh padaku walaupun tak ada pacaran, tak ada ta’aruf.
Beberapa hari berikutnya undangan telah di sebar. Calon mertuaku mengajak aku pergi ke suatu tempat dimana tempat itu akan dibangun sebuah rumah untukku bersama Haris. Rasanya ini berlebihan. Aku belum resmi menikah sudah diberi hadiah berupa tanah yang lumayan luasnya.
“nah, disini nanti Sandra dan Haris bikin rumahnya. Anggap saja hadiah pernikahan, biar kalian tidak perlu beli tanah untuk membangun rumah. Ya walaupun diperkampungan tapi strategis. Ibu yakin beberapa tahun kedepan tempat ini akan ramai.” Tutur calon mertuaku. Ini bukan Cuma luas bu, tapi juga indah. Suasananya asri dekat dengan pesawahan, sejuk, dan lapang rerumputan yang hijau menggoda sekali. Aku menyukai tempat ini yang tak terlalu ramai peduduknya. Aku sendiri tak menyangka calon mertuaku akan sebaik itu.
Hari semakin singkat, tibalah di acara terpenting sepanjang hidup. Ya, pernikahan aku dan Haris segera dilangsungkan dengan syahdu. Para tamu undangan bergantian ingin berfoto bersama kami. Ketika untuk pertama kalinya aku menatap lekat-lekat wajah Haris, seolah aku melihat bayanganku sendiri di wajahnya. Kata orang, jodoh itu mirip dengan pasangannya. Benarkah Haris ini mirip denganku?. Sesimpul senyum dari sudut bibirnya menunjukan ia tampak bahagia, begitupun aku.
Pikiranku beralih pada keluargaku yang sedari tadi tak kunjung kelihatan. Bahkan ayah dan ibuku tak tahu ada dimana. Lalu seketika hatiku mulai ragu dengan pernikahan ini. Aku juga meragukan Haris yang kini telah menjadi suamiku. Akupun teringat pada tugas-tugas kuliahku yang belum selesai kukerjakan, rencana untuk berumah tangga sebelum wisuda tak ada di kamusku. Bagaimana aku menjalaninya nanti. Tiba-tba ada suara keras yang sangat mengganggu telingaku. Mataku samar-samar melihat orang-orang disekelilingku, semakin suram dan gelap. Suara itu semakin mengganggu, lalu mataku kembali melihat dengan normal. Alarmku sedari tadi berbunyi ternyata menunjukan pukul 05.00. Aku bergegas mengambil wudhu dan sembahyang subuh. Tugas-tugas kuliah kuliah hari ini menungguku untuk segera diselesaikan. dan mimpiku semalam cukup memberikan gairah pagiku.

Komentar