KETIDAKTAHUANKU

Langit sore itu  tampak cerah, mentari menuanaikan keadilannya untuk memanjakan arah barat. Suasana riuh anak-anak pramuka yang bersorak gembira berlatih di hari Jum’at meramaikan sekolah di senja hari. Disana aku melatih mereka berpramuka, itu adalah kegiatan rutin mingguanku sebagai seorang bantara semasa SMA. Tak ada yang membosankan di pramuka bagiku. Berbagi pengalaman dan ilmu bersama adik-adik pramuka adalah bagian dari hobiku. Entahlah, aku punya kebanggaan tersendiri ketika memakai seragam cokelat itu lengkap dengan atributnya.
Kegiatan pada pertemuan kali itu telah usai. Kami yang tadinya di lapangan akan bersiap-siap pulang. Di sudut lapangan volly ball aku melihat sekelompok orang pecinta ekstrakurikuler  volly ball sedang berlatih, walaupun sebenarnya jadwal latihan mereka bukan hari Jum’at tapi hampir setiap hari mereka berlatih. Saat memperhatikan mereka satu persatu, mataku akhirnya fokus pada seseorang yang berperawakan tinggi mengenakan kaos biru muda. Seperti sebelumnya, aku selalu kagum dan tertarik padanya. Ia terlihat sangat keren saat berolahraga.
“dummm..” seketika aku di kagetkan oleh sebuah bola yang melambung menimpa kepalaku. Sonta anak-anak volly dan pramuka menertawakan aku. Tertembak bola adalah kejadian yang kesekian kali  mempermalukanku. Hal itu semakin membuatku takut pada benda itu. Namun tiba-tiba seorang lelaki berkaos biru itu berlari kearahku untuk mengambil bola didepanku. Kali ini anak volly dan pramuka meledeki aku dengan siluan, cuaciee dan tepukan tangan yang membuat wajahku semakin memerah dan tubuhku bergetar menahan malu, karena sejujurnya mereka semua tahu kalau dia yang berada dihadapanku adalah pacarku. Aku dan Febri sudah menjalin hubungan selama 5 bulan ini, tapi kami selalu punya jarak  untuk bisa bertemu atau mengobrol berdua seperti kebanyakan orang berpacaran. Itu  dikarenakan aku yang terlalu takut bila didekatnya, lebih tepatna nervous dan salah tingkah bahkan saat melihatnya dari kejauhan sekalipun. Terkadang aku takut kalau Febri merasa tak nyaman dengan sikapku yang seperti ini, tapi aku sungguh tak bisa merubahnya.
“Heii...” sapa Febri sambil mengambil bola.
“eh iya..” jawabku, masih dengan jantung yang berdebar-debar.
“sudah pulang ya? Pulangnya aku antar ya, tungguin”.
“hmmm.. kayaknya jangan deh, takut kamu masih latihan’.
“ngga ko, pokoknya tungguin’
Belum sempat mengelak lagi, dia sudah berlari kembali pada teman-temannya.  Lalu aku pergi ke kelas untuk mengambil tas. Di pikiranku masih ricuh karena aku memang tak terbiasa jalan bersama sang pacar. Ini adalah kali pertama dia menawariku secara langsung tanpa mendengar penolakan dariku, biasanya dia selalu cuek dan bersikap dingin. Aku sempat ingin mengelak untuk diantarkannya karena aku bingung apa yang akan aku bincangkan dengannya di perjalanan pulang supaya dia tak jenuh. Itu saja di pikiranku.
“ayo berangkat”. Febri sudah siap mengantar aku pulang dengan Maticnya. Akupun  menurut.
Diperjalanan, kami hanya diam seribu bahasa. Aku bertanya-tanya apa yang ada dala pikiran Febri. Dan aku bukanlah tipe orang yang pandai mencairkan suasana.
‘Taa..’ nampaknya Febri memanggilku.
“apa Feb??’ tanyaku.
“kamu sehat kan?”itu pertanyaan yang menurutku aneh sepanjang perjalanan.
“yaa, sehat. Kamu telat banget nanyain kabarnya”
“Yapp, aku cuma mau mastiin kalau kamu baik-baik aja”
 “hemm.. iya aku baik ko’ singkatku.
“Taa..’
“apa?”
“maafin aku ya”
Dia mulai aneh lagi dengan perkataannya. Memangnya selama ini dia salah apa? Aku marah apa padanya? Seperti ada yang ingin dia sampaikan. Apa itu tanda dia mau mati? Ya ampun aku sampai berpikir kearah asana karena kata-katanya tak sesuai dengan situasi saat ini. Kenapa dia meminta maaf? Aku dan Febri sama sekali sedang tak punya masalah, gumamku.
“Taa.. akuu..” tiba-tiba motor dengan knalpot bising melintasi kami dengan suara yang lumayan merusak telinga. Suara itu memotong pembicaraan Febri.
“Feb, ngomong apa tadi? bising”
‘Nita, aku minta maaf kalau aku nyakitin kamu, maaf ya udah kaya gini“
Aku tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Febri padaku. Setangkapku, mungkin dia merasa bersalah jika tak mampu membuatku bahagia.
“dih kamu Feb, jangan bilang kaya gitu, barangkali aku juga punya salah sama kamu. Maaf juga yah kalau aku suka cuek sama kamu’
“Taa maksud akuu..”
“Feb awas rumah aku kelewat” potongku.
Hampir saja Febri melewati rumahku begitu jauh, ia nampak tak fokus di perjalanan.
“ya ampun maaf Ta aku sampai lupa kalau kita sudah sampai”
“gak apa-apa, aku masuk dulu ya. Oh iya, kapan-kapan aja yah aku kenalin kamu ke mamah” ungkapku setengah menyeringai.
“iya, tolong salamin aja ke mamah. Aku pulang ya”.
“oke hati-hati Feb di jalannya jangan ngelamun’
Febri beranjak pergi sambil menyalakan klaksonnya. Hari itu hatiku bahagia sekali rasanya bisa bersama Febri walaupun singkat dan sama-sama kaku. Jujur saja tadi itu momen terlangka sepanjang hubunganku bersama Febri. Jadi wajar saja bagiku merasa begitu bahagia walaupun itu cerita biasa bagi kebanyakan orang.
Sesampainya di kamar, aku merapikan seragam dan peralatan pramukaku. Lalu terdengar bunyi SMS di Hpku. Satu pesan belum dibaca, sayangnya baterai Hpku low bet. Aku menchargernya beberapa menit lalu menghidupkannya. Aku membaca pesan itu dari Febri. Melihat namanya muncul saja aku sudah tersenyum-senyum sendiri. Ungkapan romantis apalagi yang akan dia kirim sore ini? Pikirku. Karena biasanya SMS dari dia berisi puisi-puisi atau lirik lagu yang dikhususkan buatku. Tak butuh waktu lama untuk membacanya. Tapi ada yang berbeda dengan kirimannya kali ini. Apa itu?
“Ta,, maafkan aku telah membuatmu jatuh cinta padaku, puisi-puisi dan lagu-lagu yang pernah ku kirimkan padamu mungkin akan menjadi kenangan yang akan menyakiti hatimu. Jujur saja, selama ini aku tak benar-benar cinta padamu. Ada seseorang yang sebenarnya lebih layak menerima puisi dan lagu yang ku rangkaikan untukmu. Tapi sekali lagi maaf jika ini keterlaluan. Sebelum semuanya lebih jauh lagi, mungkin untuk menyelesaikan semuanya adalah dengan mengakhirinya”.
Seketika jantungku kembang kempis menahan sesak karena seakan tak percaya dengan apa yang baru saja aku baca. Benarkah ini kiriman dari Febri?  mengapa kebahagiaan terasa lebih singkat daripada kesedihannya. Tapi aku harus memastikannya pada Febri. Dengan HP masih menempel pada chargerannya aku menelepon Febri.
“hallo..” terdengar suara diujung sana.
“Feb apa maksud kamu?” aku berharap dia tak sungguhan mengirim kata-kata itu atau aku harap ada temannya yang jail sengaja mengirimkan itu. Tapi tak ada jawaban darinya.
“Feb jawab dong maksud SMS kamu tadi itu apa?”
“aku Cuma pengen kita udahan Ta”
“tapi selama ini kita gak punya masalah, emang selama ini kamu suka sama siapa?” desakku padanya.
“udahlah Ta, aku harap kamu paham”
“kamu belum jawab pertanyaan aku, siapa seseorang yang kamu maksud?”
“Buat apa sih Ta?”
“jelas aku mau tahu Feb, kalau selama ini kamu gak cinta sama aku terus ke siapa?”
“Indi..”
Mendengar nama itu, satu tusukan lagi menghujam dadaku. Indi itu anak baru yang beberapa bulan ini pindah ke sekolahku dan aku sebangku dengannya. Tak ku sangka apa yang terjadi dibelakangku selama ini? Kenyataan ini terlalu cepat terjadi. Belum lagi aku membayangkan hubungan mereka berdua nantinya. Tak tahan, aku mencabut Hpku dari chargerannya yang baru terisi 5% dan membiarkannya mati. Pun dengan hatiku, seseorang tela tega mematikannya.

Komentar